Pada 1750-an, di bawah kepemimpinan Laksamana Haratio Nelson, Inggris memiliki angkatan laut paling kuat di seluruh dunia. Akan tetapi, keadaan di atas kapal saat itu benar benar menjijikan, sedangkan disiplin angkatan laut yang sangat keras tetap harus ditegakkan: hukuman cambuk yang cukup sering, upah rendah, kebersihan yang payah dan makanan yang dikerubuti serangga.
            Sebelum mengangkat jangkar, kapal akan dimuati oleh makanan, termasuk diantaranya buah-buahan, sayur-sayuran, dan hewan-hewan hidup. Tetapi, tak lama setelah kapal berlayar, bekal hewan hiduo akan segera disembelih  dan makanan yang lainnya pun akan segera membusuk. Karena roti lebih cepat berjamur, para pelaut lebih memilih untuk makan biskuit kapal, yang mereka sebut dengan “hardtack” atau biskuit yang sangat keras seperti paku. Biskuit ini terbuat dari tepung terigu, air, dan garam; biasanya juga dikerubuti oleh semacam kumbang dan belatung, sehingga sebelum makan para pelaut harus mengetuk-ngetukan ke atas meja, agar serangga-serangga tersebut terlepas dari biskuit. Karena alasan itu pula, para pelaut biasanya menunggu hingga hari gelap untuk makan biskuit, agar mereka tak perlu melihat belatung yang merayap keluar masuk biskuit.
            Menu makanan pelaut yang lainnya adalah daging yang diasinkan, yang juga sangat keras dan praktis tidak dapat dimakan, bahkan setelah direndam dan direbus selama berjam-jam terlebih dahulu. Daging itu berwarna sangat hitam dank keras. Beberapa pelaut membuat kerajinan tangan aneh dari daging tersebut, dengan memahat bentuk benda tertentu, kemudian memolesnya agar terlihat mengkilap. Lain lagi ceritanya dengan keju, yang biasa disajikan dengan mencelupkannya kedalam cairan aspal, membuat rasanya sangat menjijikan. Adapun salah satu menu utama para pekaut adalah segalon bir sehari dengan kadar yang menyehatkan. Meskipun tidak selamanya berada di atas kapal, bir selalu diminum sebagai alternative terbaik daripada air, mengingat air diatas kapal akan cepat berubah warna menjadi kehijauan dan berlendir. Dikisahkan, seorang bocah lelaki sepuluh tahun ikut dalam peperangan di Trafalgar, yaitu peperangan di Semenanjung Trafalgar, Spanyol, antara pasukan Inggris dengan pasukan gabungan Prancis dan Spanyol. Ia menulis surat untuk keluarga dikampung halamannya, di antaranya mengomentari makanan dikapal, “kami hidup dengan makanan daging yang tersimpan dalam tong selama sepuluh hingga sebelas tahun, juga mengudap biscuit yang membuat tenggorokan terasa dingin karena dipenuhi belatung-belatung yang juga dingin ketika memakannya; rasa biscuit tersebut mirip dengan agar-agar kulit kaki sapi.”
            Meskipun begitu, makanan segar tetap tersedia, yang biasanya diambil dari perairan sekitarnya, seperti ikan, lumba-lumba, hiu, dan burung. Penyu dan kura-kura juga bernilai tinggi, karena hewan hewan tersebut bisa hidup beberapa minggu didalam penyimpanan, tanpa diberi makan maupun minum, sehingga dapat digunakan sebagai persediaan daging segar untuk pelayaran-pelayaran berikutnya.
            Ada suatu kepercayaan diantara awak kapal, yang menyebutkan Tuhan melarang mereka untuk jatuh sakit ketika sedang berad diatas kapal. Hal itu dijelaskan oleh Tobias Smollet, dokter kapal yang bertugas selama kurun waktu peperangan Trafalgar. Bangsal perawatan pasien di kapal cenderung akan membunuh mereka, bukannya menyembuhkan. Ia menulis bahwa para pasien ditempatkan jauh dibawah geladak, dijauhkan dari sinar matahari, dan tidak mendapat udara segar; mereka hanya menghirup uap penuh kuman yang keluar dari pasien-pasien yang berpenyakit serta tinja mereka sendiri. Selain itu, mereka juga dilahap oleh kutu-kutu yang menetes dari sampah yang bertebaran di sekitar mereka.
            Pada 1805, Laksamana Horatio Nelson, sang kapten kapal, meninggal dunia di atas kapalnya, Victory. Jenazanya kemudian diangkut pulang untuk diamakamkan. Ada kepercayaan keliruyang mengatakan bahwa jenazah Nelson di bawa pulang ke Inggris dalam sebuah tong berisi jenis minuman beralkohol bernama rum. Karena alas an itu, hingga saat ini jenis minuman dikenal juga dalam bahasa gaul Inggris sebagai “Darah Nelson”.
            Sebenarnya tubuh Nelson diawetkan didalam jenis minuman beralkohol denga nama brandy, bukan rum, selama perjalanan panjangnya kembali ke Inggris. Dimasa itu, semua pelaut yang meninggal di laut akan dimakamkan dengan diceburkan ke lautan, sehingga mengawetkan jenazah Nelson merupakan tantangan yang luar biasa. Dokter Beaty­-lah orang yang punya gagasan untuk mengawetkan jenazah Nelson dengan cara disimpan dalam tong berisi brandy. Menurut legenda, tong itu dibuka setibanya di Inggris dan seluruh brandy di dalam drum telah habis. Tampaknya, para pelaut di kapal telah membuka sumbat tong untuk meminum isinya.  Dari situlah asal-usul kalimat “membuka sumbat sang laksamana”, yang dapat juga diartikan dengan minum “minuman haram”.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar